Tuesday, February 10, 2015

Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan PT Berkah Karya Bersama Bisa Batalkan Putusan BANI Terkait Kepemilikan MNC TV (TPI)



Study Kasus
Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan PT Berkah Karya Bersama Bisa Batalkan Putusan BANI  Terkait  Kepemilikan MNC TV (TPI)
I.Pengantar
Sebagai penyeimbang bagi kepentingan para pihak dalam putusan arbitrase, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase telah diambil dalam suatu proses yang sesuai. Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah Ketua Pengadilan Negeri tidak diberikan kewenangan untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi sebagai berikut:
“Putusan Arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai  ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap ”

Melihat isi dari pasal tersebut secara lebih lanjut putusan yang telah dikeluarkan oleh lembaga arbitrase ataupun lembaga arbitrase ad-hoc hanya merupakan putusan arbitrase biasa yang tidak memiliki kekuatan. Kekuatan pelaksanaan putusan arbitrase harus didaftarkan di pengadilan negeri. Perlu disampaikan, bahwa pendaftaran dan pencatatan tersebut akan menjadi sangat berguna bagi pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan
putusan arbitrase tersebut, jika salah satu pihak dalam putusan arbitrase tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela.
Pengaturan mengenai putusan arbitrase hanya terbatas pada isi dan pendapat arbiter yang dituangkan dalam klausul putusan arbitrase dimana hakim hanya akan memberikan penetapan untuk pelaksanaan putusan arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak secara pasti menguraikan bagaimana pengadilan negeri dapat membatalkan atau menolak suatu putusan arbitrase
yang sudah ditetapkan oleh arbiter. Pembatalan terhadap putusan arbitrase dimungkinkan dengan mengajukan pembatalan putusan oleh salah satu pihak. Pembatalan tersebut dapat dilakukan setelah putusan tersebut mendapatkan penetapan dari pengadilan negeri. Upaya pengajuan pembatalan sudah diatur dalam berbagai peraturan seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Konvensi New York 1958,

Klausul perbuatan melawan hukum PT Berkah Karya Bersama  yang dapat membatalkan Putusan Arbitrase” Yang  telah memenangkan PT Berkah Karya Bersama    dalam perkara perebutan saham PT CTPI melawan Grup Mba Tutut dkk

II.Rumusan Masalah

Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang diatas, penulis menemukan beberapa permasalahan yang hendak dikaji antara lain:
a)     Apakah putusan arbitrase Yang  telah memenangkan PT Berkah Karya Bersama dalam perkara perebutan saham PT CTPI melawan Grup Mba Tutut dkk   dapat dibatalkan melalui pengadilan negeri Jakarta Pusat  jika putusan tersebut mengandung unsur Perbuatan Melawan Hukum ?
b)     Bagaimana bentuk perbuatan melawan hukum yang dapat digunakan sebagai fundamentum petendi pengadilan negeri dalam menerima gugatan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terikat perjanjian arbitrase


III. Metode Penelitian
Metode Penelitan yang  gunakan adalah Yuridis normatif. Tipe penelitian yang penulis
gunakan adalah dua pendekatan, antara lain:
a)      Pendekatan Undang-Undang ( Statute approach ) dengan menganalisa berbagai regulasi dan peraturan perundang-undangan kemudian mengkaitkannya dengan isu yang sedang penulis angkat. Dalam hal ini  penulis mengkaji Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian dengan Sengketa dan konvensi internasional yang berkaitan dengan isu   Sudy Kasus Klausul perbuatan melawan hukum PT Berkah Karya Bersama  yang dapat membatalkan Putusan Arbitrase” Yang  telah memenangkan PT Berkah Karya Bersama    dalam perkara perebutan saham PT CTPI melawan Grup Mba Tutut dkk

b)     Pendekatan Konseptual( Conceptual Approach), dimana dalam pendekatan ini dilakukan dengan berpangkal pada pandangan-pandangan dan doktrin terkait dengan isu hukum yang sedang diangkat tentang bagaimana konsep pengaturan yang dapat digunakan seharusnya untuk menyempurnakan ketentuan yang telah ada dibidang arbitrase khususnya arbitrase ad-hoc.


IV.Pembahasan

1. Putusan Arbitrase Yang Dapat Dibatalkan Melalui Pengadilan Negeri Pada Saat Putusan Tersebut Mengandung Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Pengadilan negeri (peradilan umum) dan badan yang berasal dari peradilan non litigasi memiliki hubungan diantara keduanya tetapi hal ini tidak menimbulkan hilangnya pemisahan kewenangan. Hubungan yang paling mendasar salah satunya adalah mengenai eksekusi putusan. Badan yang berasal dari peradilan semu tidak memiliki kewenangan eksekusi putusan yang dijatuhkannya. Eksekusi tersebut akan dapat terlaksana setelah ada
pengesahan dari pengadilan negeri. Sepanjang mengenai pemeriksaan dan penyelesaian sengketa menjadi yurisdiksi absolut arbitrase sesuai dengan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan:
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah ketua pengadilan negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa,

“ suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”

Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.

Pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan:
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsure sebagai berikut:
a.      Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.      Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c.       Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun  1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memang tidak mengatur alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase, yang perlu dipahami disini adalah ketentuan tidak diatur disini bukan berarti tidak boleh. Prinsip hukum dasar yang berlaku secara universal tidak dilarang berarti boleh, bukan sebaliknya

2.  Bentuk Perbuatan Melawan Hukum Yang Dapat Digunakan Sebagai  Fundamentum Petendi Pengadilan Negeri Dalam Menerima Gugatan Yang Diajukan Oleh Salah Satu Pihak Yang Terikat Perjanjian Arbitrase

Lembaga arbitrase masih memiliki hubungan keterkaitan dengan pengadilan negeri, yang dalam hal ini dapat dicontohkan dengan pelaksanaan putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang telah dijatuhkan harus didaftarkan ke pengadilan negeri, hal ini untuk menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk mentaati putusan arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diundangkan dan berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus 1999

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 Angka 1, yang dimaksud dengan arbitrase adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Literatur lain menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah  “submission
of controversies by agreement of the parties there to persons chosen by themselves for determination” (penyerahan kontroversi berdasarkan kesepakatan para pihak di sana untuk orang- orang yang dipilih oleh mereka sendiri untuk penentuan). Fundamentum Petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan ( grondslag van de lis ). Terdapat beberapa istilah dalam praktik perdata yang sering digunakan, antara lain:

1.  Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan,
2.  Dalil gugatan dalam bahasa Indonesia

Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian sengketa. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Mengenai perumusan  fundamentum petendi atau dalil gugatan, muncul dua teori, yaitu:

1.  Substantierings theorie yang mengajarkan, dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
2.  Individualisering theorie yang menjelaskan peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan.

Beradasarkan ketentuan Pasal 643  Rv ( Reglement op de Rechtvordering ) ada sepuluh alasan yang dapat dijadikan dasar pembatalan putusan arbitrase yang menyatakan:
 “ Terhadap keputusan wasit yang tidak dapat dimintakan banding, dapat dimintakan kebatalannya dalam hal-hal sebagai berikut:
1.      Bila keputusan itu diambil diluar batas-batas kompromi;
2.      Bila keputusan itu didasarkan atas kompromi yang tidak berharga atau telah gugur;
3.      Bila keputusan ini dijatuhkan oleh beberapa wasit yang tidak berwenang menjatuhkan keputusan diluar kehadiran yang lain;
4.      Bila diputuskan tentang sesuatu yang tidak dituntut, atau dengan itu diberikan lebih dari yang dituntut;
5.      Bila keputusan itu mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6.      Bila para wasit lalai memutus satu atau beberapa hal yang seharusnya diputuskan, sesuai dengan ketentuan dalam kompromi;
7.      Bila melanggar bentuk acara yang telah ditetapkan dengan ancamaan kebatalan, tapi ini hanya bila dalam kompromi diperjanjikan dengan tegas, bahwa para wasit wajib memenuhi aturan acara biasa;
8.      Bila diputus atas dalam surat-surat yang setelah keputusan wasit, diakui sebagai palsu atau dinyatakan palsu;
9.      Bila sesudah keputusan, ditemukan surat-surat yang menentukan yang disembunyikan oleh salah satu pihak
10. Bila keputusan itu berdasarkan penipuan atau tipu muslihat yang kemudian diketahui dalam acara pemeriksaan

Alasan-alasan ini dapat dijadikan  fundamentum petendi dalam mengajukan gugatan ke pengadilan negeri disamping atas pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan menganggap memiliki wewenang untuk menangani perkara dengan pokok gugatan seperti yang telah ditentukan
Macam – macam bentuk Perbuatan Melawan Hukum secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.      Nofeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum.
2.      Misfeasance yakni perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang mempunyai hak untuk melakukannya.
3.      Malfeasance yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya

V.Pembahasan
Bukti PT Berkah Karya Bersama Telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam Investment Agreement yang ditandatangani oleh Berkah dan Ny. Siti Hardijanti
 Bentuk Perbuatan Melawan Hukum Yang Dapat Digunakan Sebagai  Fundamentum Petendi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Menerima Gugatan Pihak Tutut Cs Yang merupakan Salah Satu Pihak Yang Terikat Perjanjian Arbitrase dimana Pihak PT Berkah Karya Bersama telah melakukan perbuatan melawan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap atau  inkrah
1)      Pada tahun 2006, Perseroan masuk sebagai pemegang 75% saham PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) dengan mengambil alih dari PT. Berkah Karya Bersama (“Berkah”) setelah memperoleh persetujuan dari pemegang saham CTPI saat itu, hal ini telah diterima dan dicatat oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) berdasarkan surat No. W7-HT.01.10-4534 tanggal 5 April 2007 (“Surat Kumham”) dan pada tahun 2008 kepemilikan Perseroan atas 75% saham CTPI tersebut telah dimuat dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia No. 58 tanggal 28 Mei 2008, Tambahan No. 1228 (BNRI No. 58).
2)      Pada tahun 2010, Ny. Siti Hardijanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesia, PT. Citra Lamtoro Gung Persada, dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi (“Ny. Siti Hardijanti Rukmana dkk”) mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Berkah dengan nomor perkara 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt Pst, dengan obyek gugatan keputusan  Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa CTPI pada tanggal 18 Maret 2005,  19 Oktober 2005, dan 23 Desember 2005 (“RUPSLB”), yang diadakan sebagai realisasi Oktober 2005, dan 23 Desember 2005 (“RUPSLB”), yang diadakan sebagai realisasi  dari Investment Agreement yang ditandatangani oleh Berkah dan Ny. Siti Hardijanti
3)      Pada tanggal 14 April 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan pada tingkat pertama yang pada intinya memutuskan bahwa Berkah telah   melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Terhadap putusan ini, Para Pihak  mengajukan banding.
4)      Pada tanggal 20 April 2012, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan   permohonan banding yang diajukan oleh Para Pihak, dengan putusan Pengadilan   tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili Perkara. Terhadap putusan ini,   Para Pihak mengajukan kasasi.
5)      Pada tanggal 2 Oktober 2013, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah  mengeluarkan putusan Kasasi dengan No. 862 K/Pdt/2013 (“Putusan MA”) yang   berisi, antara lain:
a.      Membatalkan dan menyatakan tidak sah keputusan RUPSLB; dan
b.      Menghukum Berkah untuk mengembalikan keadaan CTPI seperti keadaan semula sebelum RUPSLB
6)      Putusan Peninjauan kembali itu bernomor 238 PK/PDT/2014 dan diketuk pada 29 Oktober 2014 Menguatkan putusan Kasasi dengan No. 862 K/Pdt/2013 (“Putusan MA”) yang   berisi,
a.      Membatalkan dan menyatakan tidak sah keputusan RUPSLB; dan
b.      Menghukum Berkah untuk mengembalikan keadaan CTPI seperti keadaan semula sebelum RUPSLB
7)      Majelis Hakim Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memutuskan PT Berkah Karya Bersama adalah pemilik sah PT CTPI. Dalam kasus tersebut PT Berkah berlawanan dengan pihak Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). hari ini, Jum’at tanggal 12 Desember 2014 Jam 14.00 WIB, BANI telah memenangkan PT Berkah Karya Bersama    dalam perkara perebutan saham PT CTPI melawan Grup Mba Tutut dkk

Dari bukti bukti didapati bahwa Pembatalan terhadap Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang memenangkan pihak PT Berkah Karya Bersama Terkait kepemilikan  saham 75 persen PT CTPI dan Kewajiban terhadap Ny. Siti Hardijanti  sebesar 510 miliar  sangat dimungkinkan karena Beradasarkan fakta hukum ketentuan Pasal 643  Rv ( Reglement op de Rechtvordering ) yaitu :
1.      Keputusan BANI yang memenangkan PT Berkah Karya Bersama sangat jelas terdapat unsur perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh PT Berkah Karya Bersama terhadap Pihak Ny. Siti Hardijanti  dimana keputusan BANI itu mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan yang lain dengan mengesampingkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung bernomor 238 PK/PDT/2014 yang sudah inkrah dan berkekuatan hukum tetap dengan membatalkan dan meyatakan tidak sahnya keputusan RUPSLB (rapat umum pemegang saham luar biasa ) PT CTPI pada tanggal 18 maret 2005 yang mengesahkan pengalihan 75 persen saham Siti Hardiyanti Rukmana oleh PT Berkah Karya Bersama secara melawan hukum
2.      Keputusan BANI juga itu mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan yang lain dengan mengesampingkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung bernomor 238 PK/PDT/2014 bahwa sejak PL Mahkamah Agung yang diputuskan pada tanggal 29 Oktober 2014 demi hukum dan keadilan maka PT Berkah Karya Bersama sudah tidak lagi memiliki saham 75 % di PT CTPI sebagai operator MNC TV
Jakarta 9 Februari 2014
Ditulis oleh ;
M.A .Muhamadiyah .SH.Msi
Koordinator Masyarakat Pemantau Badan Arbitrase Nasional Indonesia